Festival Grebeg Sudiro, Imlek yang Dilarang di Era Pak Harto

Festival Grebeg Sudiro, Imlek yang Dilarang di Era Pak Harto

RAKYATCIREBON.ID- Orang-orang di seluruh dunia bersiap menyambut Tahun Baru China atau Imlek, yang jatuh pada 25 Januari 2020. Termasuk penduduk di kota Surakarta (atau Solo), Jawa Tengah, Indonesia. Mereka merayakan Tahun Baru Imlek dengan mengadakan festival bernama Grebeg Sudiro seminggu sebelum pergantian tahun.

Festival Grebeg Sudiro menggabungkan budaya Jawa dan China. Keberadaannya tidak hanya simbol toleransi, tetapi juga perayaan lintas etnis yang mengajak semua orang untuk menghargai keanekaragaman.

Di acara tersebut, dikutip rakyatcirebon.id dari The Diplomat, berbagai tanaman (seperti sayuran, buah-buahan, dan makanan ringan tradisional) ditumpuk dalam bentuk gunung. Bukan hanya itu, tetapi ada juga lebih dari 4.000 kue tradisional China. Semua makanan lezat ditampilkan dalam parade sepanjang tiga kilometer lebih, dimulai dari Kuil Tien Kok Sie, kemudian dibagikan secara gratis kepada ribuan pengunjung.

Selain itu, ditampilkan juga berbagai seni Jawa dan China: tarian naga dan singa, Reog Ponogogo (tarian tradisional Jawa), dan boneka tradisional Jawa. Pertunjukan tersebut berlangsung di bawah ribuan lentera merah yang dipasang di gerbang area Chinatown.

Festival Grebeg Sudiro merupakan pengingat sejarah masyarakat China di Kota Solo. Imigran China pertama tiba sebagai pedagang migran. Sungai Bengawan Solo, yang membelah Pulau Jawa, menjadi arteri interaksi antara kelompok etnis melalui kegiatan perdagangan. Dari sana muncul Pasar Gede yang menjadi pusat jual beli bagi penduduk lokal.

Lama-kelamaan, para pedagang China menetap di daerah yang terletak di belakang Pasar Gede. Daerah itu sekarang bernama Sudiroprajan. Mereka hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Lalu proses asimilasi dimulai antara kelompok etnis ini melalui pernikahan campuran. Untuk menampilkan perpaduan yang telah berlangsung selama beberapa dekade, warga menciptakan tradisi Grebeg Sudiro.

Grebeg Sudiro baru mulai diadakan berskala besar sejak 2007. Sebelum tahun itu, tradisi ini sudah ada, namun tidak besar.

Selama 32 tahun rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, etnis Tionghoa menghadapi berbagai jenis perilaku diskriminatif. Mereka dilarang mempraktikkan upacara keagamaan, kepercayaan, dan kebiasaan China di tempat-tempat umum, termasuk perayaan Tahun Baru Imlek. Keturunan China di Indonesia dengan demikian tidak dapat melestarikan budaya leluhur mereka secara bebas.

Pembatasan itu berakhir ketika Presiden Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai Gus Dur, mengeluarkan peraturan baru yang akhirnya mengembalikan kemampuan masyarakat China untuk melakukan kegiatan keagamaan mereka, dan memperjuangkan hak-hak sipil mereka, termasuk mengadakan berbagai ritual dan upacara tradisional, dinukil dari The Diplomat.

Dampaknya, saat ini Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Sekarang orang Indonesia keturunan Tionghoa dapat merayakan Tahun Baru Imlek dengan bebas, tarian singa (Barongsai) dapat dilakukan di mana saja, dan lentera dapat dipasang di setiap sudut kota dan area perbelanjaan. (The Diplomat)

Sumber: